03 Maret 2009

Pengesahan APBA 2009 Dinilai Cacat Hukum

Serambi Indonesia

BANDA ACEH - Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) Tahun 2009 senilai Rp 9,7 triliun yang telah disahkan Pimpinan DPR Aceh, Selasa (24/2) malam, dinilai cacat hukum. Sebab, pengesahan anggaran dilakukan tanpa lebih dulu memperbaiki catatan (koreksi dan evaluasi) dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) terhadap RAPBA tersebut.


Penilaian bahwa model pengesahan yang demikian itu cacat hukum, dilontarkan Abdullah Abdul Muthaleb, Manajer Monitoring Parlemen pada LSM Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh, Senin (2/3). Kepada Serambi, Abdullah mengaku telah menyimak dengan saksama apa yang diutarakan dua anggota DPRA, yakni Abdurrahman Ahmad dari Fraksi PBR dan T Surya Darma dari Fraksi PKS, bahwa APBA 2009 itu disahkan Pimpinan DPRA dalam sidang paripurna sebelum diperbaiki. Padahal, dalam daftar koreksi dan evaluasinya, Mendagri menghendaki RAPBA 2009 itu harus diperbaiki/dirasionalkan lebih dulu sebelum disahkan.

Sementara itu, dua pakar dari Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Dr Mawardi Ismail dan Dr Faisal A Rani menyatakan, berdasarkan aturan yang berlaku, pengesahan RAPBA menjadi Qanun APBA baru bisa dilakukan setelah koreksi/evaluasi Mendagri terhadap RAPBA diikuti. “Tapi cacat hukum atau tidaknya sebuah produk hukum (qanun), haruslah melalui proses hukum dan ada putusan tetap dari pengadilan,” tukas Mawardi Ismail.

Tak ikuti ketentuan

Abdullah Abdul Muthaleb dari GeRAK Aceh justru menilai bahwa pengesahan APBA tahun ini tidak memenuhi ketentuan hukum yang diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. UU ini, menurut Abdullah, seharusnya menjadi pedoman bagi Pemerintahan Aceh (DPRA dan Gubernur) untuk menjalankan roda pemerintahan.

Pada Pasal 235 ayat (5) UUPA disebutkan bahwa sebelum disetujui bersama antara Gubernur dan DPRA serta bupati/walikota dan DPRK, maka pemerintah mengevaluasi Rancangan Qanun (Raqan) tentang APBA, sedangkan Gubernur mengevaluasi Raqan APBK (kabupaten/kota).

Pada ayat (6) disebutkan, hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bersifat mengikat gubernur dan bupati/walikota untuk dilaksanakan.

Selain itu, kata Abdullah, pada Pasal 107 ayat (7) Qanun Nomor 1 Tahun 2008 ditegaskan bahwa sebelum pembicaraan tingkat keempat dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan (6), maka Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) bersama Panitia Anggaran (Panggar) DPRA melakukan penyempurnaan sesuai dengan hasil evaluasi Mendagri.

Penegasan serupa, ungkap Abdullah, juga terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah bagian IV, yakni mengenai Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD, dan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran RAPBD pada Pasal 47 ayat (5) dan (6).

Selain itu, dalam Pasal 187 ayat (5) UU Nomor 32 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah disebutkan bahwa jika hasil evaluasi Mendagri itu tidak diperbaiki oleh DPRD (dalam hal ini DPRA) dan Gubernur, maka Mendagri bisa membatalkan APBA 2009 yang telah disetujui dan disahkan DPRA. “Kalau ini terjadi, maka Pemerintah Aceh harus melaksanakan APBA tahun sebelumnya,” timpal Abdullah.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPRA Bidang Anggaran, Tgk Waisul Qarany Ali mengatakan, pengesahan APBA 2009 dan penutupan Sidang Paripurna APBA 2009 pada Selasa (24/2) malam itu dimaksudkan hanya untuk mempercepat pelaksanaan kegiatan APBA 200. Sedangkan perbaikan terhadap koreksi Mendagri itu tetap dilakukan, namun belakangan.

Apa yang dilakkan DPRA itu, menurut Abdullah, membuktikan bahwa DPRA tidak taat terhadap aturan yang telah dibuatnya bersama Gubernur, yakni Qanun Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Keuangan Aceh. Selain itu, Pimpinan DPRA yang mengesahkan APBA 2009 itu telah melanggar UUPA yang merupakan pedoman pelaksanaan pemerintahan di Aceh.

“Kalau demikian kejadiannya, bagaimana mungkin DPRA bersama Gubernur ingin menciptakan pemerintahan yang bersih dan baik. Tuh lihat bukti konkretnya, aturan yang dibuat bersama, justru dilanggar,” rutuk Abdullah.

Menurut Abdullah, jika hasil evaluasi dan koreksi Mendagri itu tidak diperbaiki Panggar DPRA bersama TAPA, maka dana senilai Rp 2,5 triliun yang dipersoalkan Mendagri di dalam RAPBA 2009 itu bisa saja disalahgunakan setelah pengesahan anggaran.

Sehubungan dengan masalah itu, GeRAK, menurut Abdullah, akan melaporkan peristiwa tersebut kepada Mendagri untuk dijadikan masukan dan dasar pengambilan kebijakan selanjutnya.

Harusnya diperbaiki

Pakar hukum dari Unsyiah, Dr Mawardi Ismail dan Dr Faisal A Rani yang diminta Serambi tanggapannya di tempat terpisah mengatakan, sebelum DPRA mengesahkan Raqan APBA 2009 menjadi Qanun APBA 2009, hasil evaluasi Mendagri terhadap APBA 2009 itu, seharusnya diperbaiki lebih dulu. Hal itu diatur dalam Pasal 235 ayat 5) dan (6) UUPA serta Pasal 107 ayat (7) Qanun Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Keuangan Aceh.

Koreksi Mendagri itu perlu duluan dilaksanakan, baru Raqan APBA 2009 disahkan, menurut Mawardi, bertujuan supaya kegiatan yang dilaksanakan dalam APBA 2009 nanti sama dengan apa yang disahkan DPRA dan ditandatangani Gubernur dalam lembaran daerah.

Di sisi lain, Faisal A Rani mengingatkan bahwa UUPA memberikan kelebihan kepada DPRA. Tapi kenapa dewan tidak menggunakan kelebihannya itu. “Untuk masalah ini sebaiknya kita kembalikan ke dewan,” kata Faisal A Rani.

Menurut Mawardi, karena Raqan APBA 2009 telah telanjur disahkan, maka lampiran APBA yang dikoreksi Mendagri itu harus segera diperbaiki supaya tidak menjadi masalah hukum di kemudian hari.

Menanggapi pendapat segelintir orang bahwa pengesahan APBA 2009 itu cacat hukum, Mawardi menyatakan itu sah-sah saja disampaikan orang bersangkutan. Tapi untuk mengetahui, cacat hukum atau tidak sebuah produk hukum (qanun), haruslah melalui proses hukum dan adanya putusan tetap dari pengadilan. “Jadi, bukan dari pendapat yang dilontarkan oleh pihak yang tidak berwenang menyatakan hal itu,” tukasnya. (her)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar