Serambi Indonesia
BANDA ACEH - Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) Tahun 2009 senilai Rp 9,7 triliun yang telah disahkan Pimpinan DPR Aceh, Selasa (24/2) malam, dinilai cacat hukum. Sebab, pengesahan anggaran dilakukan tanpa lebih dulu memperbaiki catatan (koreksi dan evaluasi) dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) terhadap RAPBA tersebut.
Penilaian bahwa model pengesahan yang demikian itu cacat hukum, dilontarkan Abdullah Abdul Muthaleb, Manajer Monitoring Parlemen pada LSM Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh, Senin (2/3). Kepada Serambi, Abdullah mengaku telah menyimak dengan saksama apa yang diutarakan dua anggota DPRA, yakni Abdurrahman Ahmad dari Fraksi PBR dan T Surya Darma dari Fraksi PKS, bahwa APBA 2009 itu disahkan Pimpinan DPRA dalam sidang paripurna sebelum diperbaiki. Padahal, dalam daftar koreksi dan evaluasinya, Mendagri menghendaki RAPBA 2009 itu harus diperbaiki/dirasionalkan lebih dulu sebelum disahkan.
Tak ikuti ketentuan
Abdullah Abdul Muthaleb dari GeRAK Aceh justru menilai bahwa pengesahan APBA tahun ini tidak memenuhi ketentuan hukum yang diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. UU ini, menurut Abdullah, seharusnya menjadi pedoman bagi Pemerintahan Aceh (DPRA dan Gubernur) untuk menjalankan roda pemerintahan.
Pada Pasal 235 ayat (5) UUPA disebutkan bahwa sebelum disetujui bersama antara Gubernur dan DPRA serta bupati/walikota dan DPRK, maka pemerintah mengevaluasi Rancangan Qanun (Raqan) tentang APBA, sedangkan Gubernur mengevaluasi Raqan APBK (kabupaten/kota).
Pada ayat (6) disebutkan, hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bersifat mengikat gubernur dan bupati/walikota untuk dilaksanakan.
Selain itu, kata Abdullah, pada Pasal 107 ayat (7) Qanun Nomor 1 Tahun 2008 ditegaskan bahwa sebelum pembicaraan tingkat keempat dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan (6), maka Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) bersama Panitia Anggaran (Panggar) DPRA melakukan penyempurnaan sesuai dengan hasil evaluasi Mendagri.
Penegasan serupa, ungkap Abdullah, juga terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah bagian IV, yakni mengenai Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD, dan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran RAPBD pada Pasal 47 ayat (5) dan (6).
Selain itu, dalam Pasal 187 ayat (5) UU Nomor 32 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah disebutkan bahwa jika hasil evaluasi Mendagri itu tidak diperbaiki oleh DPRD (dalam hal ini DPRA) dan Gubernur, maka Mendagri bisa membatalkan APBA 2009 yang telah disetujui dan disahkan DPRA. “Kalau ini terjadi, maka Pemerintah Aceh harus melaksanakan APBA tahun sebelumnya,” timpal Abdullah.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPRA Bidang Anggaran, Tgk Waisul Qarany Ali mengatakan, pengesahan APBA 2009 dan penutupan Sidang Paripurna APBA 2009 pada Selasa (24/2) malam itu dimaksudkan hanya untuk mempercepat pelaksanaan kegiatan APBA 200. Sedangkan perbaikan terhadap koreksi Mendagri itu tetap dilakukan, namun belakangan.
Apa yang dilakkan DPRA itu, menurut Abdullah, membuktikan bahwa DPRA tidak taat terhadap aturan yang telah dibuatnya bersama Gubernur, yakni Qanun Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Keuangan Aceh. Selain itu, Pimpinan DPRA yang mengesahkan APBA 2009 itu telah melanggar UUPA yang merupakan pedoman pelaksanaan pemerintahan di Aceh.
“Kalau demikian kejadiannya, bagaimana mungkin DPRA bersama Gubernur ingin menciptakan pemerintahan yang bersih dan baik. Tuh lihat bukti konkretnya, aturan yang dibuat bersama, justru dilanggar,” rutuk Abdullah.
Menurut Abdullah, jika hasil evaluasi dan koreksi Mendagri itu tidak diperbaiki Panggar DPRA bersama TAPA, maka dana senilai Rp 2,5 triliun yang dipersoalkan Mendagri di dalam RAPBA 2009 itu bisa saja disalahgunakan setelah pengesahan anggaran.
Sehubungan dengan masalah itu, GeRAK, menurut Abdullah, akan melaporkan peristiwa tersebut kepada Mendagri untuk dijadikan masukan dan dasar pengambilan kebijakan selanjutnya.
Harusnya diperbaiki
Pakar hukum dari Unsyiah, Dr Mawardi Ismail dan Dr Faisal A Rani yang diminta Serambi tanggapannya di tempat terpisah mengatakan, sebelum DPRA mengesahkan Raqan APBA 2009 menjadi Qanun APBA 2009, hasil evaluasi Mendagri terhadap APBA 2009 itu, seharusnya diperbaiki lebih dulu. Hal itu diatur dalam Pasal 235 ayat 5) dan (6) UUPA serta Pasal 107 ayat (7) Qanun Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Keuangan Aceh.
Koreksi Mendagri itu perlu duluan dilaksanakan, baru Raqan APBA 2009 disahkan, menurut Mawardi, bertujuan supaya kegiatan yang dilaksanakan dalam APBA 2009 nanti sama dengan apa yang disahkan DPRA dan ditandatangani Gubernur dalam lembaran daerah.
Di sisi lain, Faisal A Rani mengingatkan bahwa UUPA memberikan kelebihan kepada DPRA. Tapi kenapa dewan tidak menggunakan kelebihannya itu. “Untuk masalah ini sebaiknya kita kembalikan ke dewan,” kata Faisal A Rani.
Menurut Mawardi, karena Raqan APBA 2009 telah telanjur disahkan, maka lampiran APBA yang dikoreksi Mendagri itu harus segera diperbaiki supaya tidak menjadi masalah hukum di kemudian hari.
Menanggapi pendapat segelintir orang bahwa pengesahan APBA 2009 itu cacat hukum, Mawardi menyatakan itu sah-sah saja disampaikan orang bersangkutan. Tapi untuk mengetahui, cacat hukum atau tidak sebuah produk hukum (qanun), haruslah melalui proses hukum dan adanya putusan tetap dari pengadilan. “Jadi, bukan dari pendapat yang dilontarkan oleh pihak yang tidak berwenang menyatakan hal itu,” tukasnya. (her)
03 Maret 2009
Pengesahan APBA 2009 Dinilai Cacat Hukum
Kasus Deposito APBK Aceh Utara Rp420 Miliar, Sekda Diperiksa Delapan Jam
Banda Aceh | Harian Aceh—Tim Intelijen Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh, Senin (2/3), memeriksa Sekda Aceh Utara Drs Syahbuddin Usman selama delapan jam. Pemeriksaan itu terkait indikasi korupsi dalam kasus deposito APBK Aceh Utara senilai Rp420 miliar. Namun pihak jaksa berupaya menutup-nutupi pemeriksaan tersebut kepada pers.
Syahbuddin Usman, dengan perpakaian dinas Limnas sekira pukul 8.30 WIB kemarin, turun dari mobil plat merah BL 254 KB. Dia langsung menuju ruang pemeriksaan tim intelijen di lantai dua kantor Kejati Aceh. Menjelang zuhur, pemeriksaan dihentikan sekitar satu jam dan dilanjutkan kembali pukul 14.00 WIB.
Pemeriksaan orang nomor tiga di Aceh Utara itu dijaga ketat oleh ajudan dan sopirnya. Untuk mengelabui kuli tinta, saat jeda siang, ajudannya menyediakan dua mobil penjemput, yakni BK 1885 LQ dan mobil dinasnya BL 254 KB.
Ketika Syahbuddin turun dari lantai dua kantor Kejati Aceh untuk makan siang, mobil BL 254 BK langsung mundur ke halaman kantor itu. Tapi Syahbuddin tidak menaiki mobil dinasnya yang disediakan sopir, melainkan memilih jalan kaki beberapa meter dan menaiki mobil BK 1885 LQ yang diparkir di pinggir jalan.
Kepada Harian Aceh yang mencegatnya saat hendak menaiki mobil, Syahbuddin menyatakan dirinya dipanggil tim penyidik kejaksaan hanya sebatas dimintai keterangan terkait deposito keuangan Aceh Utara di dua bank di Jakarta.
”Saya dipanggil pada kapasitas Sekda sekarang. Keterangan dari saya untuk membantu tim penyidik kejaksaan dalam mengusut kasus itu. Tapi belum kelar, sehabis zuhur,” kata Syahbuddin menjawab Harian Aceh sambil berjalan cepat dan menaiki mobil BK 1885 LQ yang siap meluncur.
Tepat pukul 14.00 WIB, pemeriksaan kembali dilanjutkan dan hingga pukul 18.30 WIB Sekda Aceh Utara itu masih diperiksa Jaksa Suhendra.
Ali Rasab Lubis, Kasi Penkum Kejati Aceh yang ikut sebagai tim pemeriksa terkesan sangat menutupi informasi mengenai pemeriksaan Syahbuddin.
Kata dia, pemanggilan Sekda hanya sebatas memintai keterangan terkait ratusan miliar rupiah uang rakyat Aceh Utara yang disebut-sebut telah didepositokan di Bank Mandiri dan Bank Muammalat di Jakarta.
”Saya tidak bisa beri keterangan. Ini baru sekedar mencari data mengenai deposito APBK ratusan miliar itu. Dia sudah kami periksa sejak pukul 08.30 WIB sampai sekarang, bisa jadi sampai malam,” sebut Ali Rasab yang dihubungi sekira pukul 18.30 WIB kemarin.
Ditanya siapa yang akan menyusul Sekda untuk diperiksa, Rasab mengatakan pihaknya masih menunggu keterangan lebih lanjut dari pemeriksaan Sekda Syahbuddin. ”Bisa saja bupati atau wakil yang akan kita panggil, juga bendahara selaku pemegang kas. Pokoknya masih ada yang kami panggil,” tandas Ali Rasab.(min)
Read More......
Sekda Aceh Utara Diperiksa
Aceh Independen | Banda Aceh
Tim intelijen Kejaksaan Tinggi Aceh memeriksa dan memintai keterangan Sekretaris Daerah Kabupaten (Sekdakab) Aceh Utara Syahbuddin Usman, Senin (2/3). Pemeriksaan terkait pendepositoan dana APBK sekitar Rp420 miliar di dua bank di Jakarta.
“Dia (Syahbuddin-red) dimintai keterangan sekitar 10 jam. Secara manajemen, yang bersangkutan lebih tahu,” Kata Kasi Penkum Kejati Aceh Ali Rasab Lubis. Namun, Ali belum bersedia memberi keterangan terkait hasil pemeriksaan tersebut.
Menurut Ali, pemanggilan dan pemeriksaan Syahbuddin Usman masih dalam tahap dimintai keterangan dan pengumpulan data-data. Pemeriksaan berlangsung sejak pagi hingga pukul 17.30 WIB. “Hasilnya belum bisa dipaparkan, masih dalam tahap penyelidikan,” ujarnya.
Sebelumnya, uang rakyat bersumber dari APBK Aceh Utara itu dibungakan di dua bank di Jakarta Timur. Anehnya lagi, bunga deposit 12,6 persen, namun dibukukan ke kas daerah hanya sembilan persen.
Deposito Rp220 miliar di Bank Mandiri ditandatangani Bupati Aceh Utara Ilyas A Hamid. Sedangkan deposito Rp200 miliar di Bank Muamalat ditandatangani Wakil Bupati Aceh Utara Syarifuddin.
Perjalanan dana ke dua bank itu lumayan panjang. Uang itu sebelumnya diparkirkan di BPD Aceh. Kemudian pindah ke Bank Permata, selanjutnya ditransfer ke Bank Muamalat. Ketika proses pemindahan dari BPD ke Bank Permata, pejabat Aceh Utara menyebutkan terjadi kerugian Rp4,2 miliar.
Tidak diketahui pasti mengapa dana tersebut harus diparkirkan di Jakarta. Praktik mendepositokan dana APBK sudah lama berlangsung di Aceh Utara, terutama anggaran yang bersumber dari proyek sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa).
Kasus BPK
Terkait pembangunan gedung Badan Pemeriksa Keuangan (BPK ) Perwakilan Banda Aceh yang diduga menyimpang, Kejati Aceh kembali memeriksa sejumlah pejabat di badan tersebut. “Besok (hari ini, red) pemeriksaannya berlangsung,” sebut Ali Rasab.
Namun begitu, Ali belum memberikan informasi rinci seputar pemeriksaan pejabat BPK sebelumnya. Ia berdalih Kejari masih mempelajari bukti-bukti terkait pembangunan gedung berlantai empat di Jalan P Nyak Makam tersebut. “Kita masih mempelajarinya,” ujar dia.
Hanya saja Ali Rasab memaparkan dana pembangunannya sudah dicairkan sebesar Rp24,7 miliar. Seharusnya gedung tersebut selesai pada tahun 2008. Namun hingga kini pembangunan gedung berlantai empat tersebut belum selesai.
Sebelumnya, tiga pejabat BPK Perwakilan Banda Aceh diperiksa Kejati Aceh, Rabu dan Kamis pekan lalu. Pemeriksaan terkait dugaan penyimpangan pembangunan gedung yang didanai APBN 2008 tersebut.
Adapun ketiga pejabat BPK tersebut, yakni, SI selaku pejabat pembuat komitmen, NO yang juga pengawas proyek dan MS (panitia lelang). Ketiganya merupakan pejabat BPK yang terlibat sejak awal dalam pembangunan gedung BPK tersebut. Independen | Banda Aceh
Tim intelijen Kejaksaan Tinggi Aceh memeriksa dan memintai keterangan Sekretaris Daerah Kabupaten (Sekdakab) Aceh Utara Syahbuddin Usman, Senin (2/3). Pemeriksaan terkait pendepositoan dana APBK sekitar Rp420 miliar di dua bank di Jakarta.
“Dia (Syahbuddin-red) dimintai keterangan sekitar 10 jam. Secara manajemen, yang bersangkutan lebih tahu,” Kata Kasi Penkum Kejati Aceh Ali Rasab Lubis. Namun, Ali belum bersedia memberi keterangan terkait hasil pemeriksaan tersebut.
Menurut Ali, pemanggilan dan pemeriksaan Syahbuddin Usman masih dalam tahap dimintai keterangan dan pengumpulan data-data. Pemeriksaan berlangsung sejak pagi hingga pukul 17.30 WIB. “Hasilnya belum bisa dipaparkan, masih dalam tahap penyelidikan,” ujarnya.
Sebelumnya, uang rakyat bersumber dari APBK Aceh Utara itu dibungakan di dua bank di Jakarta Timur. Anehnya lagi, bunga deposit 12,6 persen, namun dibukukan ke kas daerah hanya sembilan persen.
Deposito Rp220 miliar di Bank Mandiri ditandatangani Bupati Aceh Utara Ilyas A Hamid. Sedangkan deposito Rp200 miliar di Bank Muamalat ditandatangani Wakil Bupati Aceh Utara Syarifuddin.
Perjalanan dana ke dua bank itu lumayan panjang. Uang itu sebelumnya diparkirkan di BPD Aceh. Kemudian pindah ke Bank Permata, selanjutnya ditransfer ke Bank Muamalat. Ketika proses pemindahan dari BPD ke Bank Permata, pejabat Aceh Utara menyebutkan terjadi kerugian Rp4,2 miliar.
Tidak diketahui pasti mengapa dana tersebut harus diparkirkan di Jakarta. Praktik mendepositokan dana APBK sudah lama berlangsung di Aceh Utara, terutama anggaran yang bersumber dari proyek sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa).
Kasus BPK
Terkait pembangunan gedung Badan Pemeriksa Keuangan (BPK ) Perwakilan Banda Aceh yang diduga menyimpang, Kejati Aceh kembali memeriksa sejumlah pejabat di badan tersebut. “Besok (hari ini, red) pemeriksaannya berlangsung,” sebut Ali Rasab.
Namun begitu, Ali belum memberikan informasi rinci seputar pemeriksaan pejabat BPK sebelumnya. Ia berdalih Kejari masih mempelajari bukti-bukti terkait pembangunan gedung berlantai empat di Jalan P Nyak Makam tersebut. “Kita masih mempelajarinya,” ujar dia.
Hanya saja Ali Rasab memaparkan dana pembangunannya sudah dicairkan sebesar Rp24,7 miliar. Seharusnya gedung tersebut selesai pada tahun 2008. Namun hingga kini pembangunan gedung berlantai empat tersebut belum selesai.
Sebelumnya, tiga pejabat BPK Perwakilan Banda Aceh diperiksa Kejati Aceh, Rabu dan Kamis pekan lalu. Pemeriksaan terkait dugaan penyimpangan pembangunan gedung yang didanai APBN 2008 tersebut.
Adapun ketiga pejabat BPK tersebut, yakni, SI selaku pejabat pembuat komitmen, NO yang juga pengawas proyek dan MS (panitia lelang). Ketiganya merupakan pejabat BPK yang terlibat sejak awal dalam pembangunan gedung BPK tersebut. [arman konadi]