05 Maret 2009

Aktivis Antikorupsi Diperiksa Kejagung

Aceh Independen | Banda Aceh

Tim Inspeksi Kasus Jaksa Agung Muda Pengawas Kejaksaan Agung memeriksa dua aktivis antikorupsi Aceh, Rabu (4/3). Pemeriksaan terkait evaluasi kinerja Kejaksaan Tinggi Aceh dalam menangani berbagai laporan indikasi korupsi.



Kedua aktivis tersebut, Pjs Koordinator Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh Askhalani dan Koordinator Badan Pekerja Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian. Kedua aktivis tersebut diperiksa pukul 09.00 hingga 13.00 WIB di ruang Asisten Pengawas Kejati NAD.

Pemanggilan keduanya berdasarkan permintaan Jaksa Utama Muda Inspektur Pidana Khusus/Perdata dan Tata Usaha Negara Iskamto. Surat tersebut ditandatangani Asisten Pengawas Kejati NAD Ohara Pudjo.

Pemeriksaan berlangsung tertutup. Askhalani diperiksa Jaksa Agung Muda dan juga Inspektur Pembantu Intelijen M Abduh Amasta. Sedang Alfian dimintai keterangan Fajar SH. Sementara itu, Rahman Triono SH, anggota tim inspeksi hanya mencatat pertanyaan diajukan kepada keduanya.

Askhalani mengatakan pemanggilan terhadap dirinya terkait laporan tertulis dari masyarakat tertanggal 14 November 2008. Surat itu meminta Jaksa Agung Hendarman Supandji memeriksa kinerja Kejati NAD.

“Dalam surat tertulis itu, masyarakat meminta Jaksa Agung memeriksa kinerja Kejati NAD dan asisten intelijen atas dugaan adanya indikasi deal dalam penyelidikan beberapa kasus,” kata Askhalani menjawab Independen usai diperiksa tim Kejagung.

Selain itu, pemeriksaan juga terkait soal kasus mark up harga tanah pembangunan terminal mobil barang di Aceh Besar dan kasus pengadaan tanah di Desa Blang Panyang, Kota Lhokseumawe dengan indikasi kerugian negara mencapai miliaran rupiah.

Kasus tersebut, kata Askhalani, sempat dihentikan penyelidikannya karena Kejati tidak menemukan indikasi korupsi dalam kasus pengadaan terminal tersebut. Namun, pengusutan kasus tersebut kabarnya akan dilanjuti oleh kejaksaan.

“Dalam perbincangan setelah diperiksa tim Kejagung, besar kemungkinan kasus tersebut akan diselidiki ulang. Itu disebut langsung Jaksa Muda Pengawas Kejagung Iskamto,” ungkap Askhalani yang turut didampingi Alfian.

GeRAK Aceh dan MaTA, tidak mengetahui jelas, kenapa Kejati Aceh yang menangani kasus pengadaan tanah terminal mobil barang di Aceh Besar dan Kejari Lhokseumawe yang menangani kasus pengadaan tanah di Desa Blang Panyang Lhokseumawe mengatakan tidak ada indikasi korupsi.

“Mereka hanya menyebutkan kejaksaan tidak menemukan indikasi korupsi dalam dua kasus itu. Padahal, jika dilihat dengan jujur, jelas dalam dua kegiatan tersebut, kuat dugaan terjadi tindak pidana korupsi dengan fakta-fakta yang ada,” tandas Askhalani.

Investigasi GeRak terhadap kasus terminal, lanjut dia, ditemukan bukti bahwa pembebasan tanah seluas dua hektare yang dilakukan Pemkab Aceh Besar dan Pemko Banda Aceh, dengan sumber dana BRR Aceh-Nias, itu diduga kuat terjadi penyimpangan soal harga tanah.

Berdasarkan bukti pencairan dana dari KPKN Khusus Banda Aceh, harga tanah tersebut tanggal 6 Desember 2007 tertera dalam surat perintah membayar (SPM) Rp 14,499 miliar atau Rp700 ribu per meter persegi, sebelum dipotong pajak.

Sementara, tanah di lokasi pembangunan proyek lembaga pemasyarakatan dan Rutan Banda Aceh seluas 7,4 hektare hanya dibayarkan Rp142.500 per meter persegi dengan total Rp10,547 miliar. “Padahal, tanah kedua bangunan itu berdekatan, terpaut beberapa ratus meter,” urai Askhalani.

Sementara itu, Alfian mengatakan, Pemko Lhokseumawe membebaskan 50 hektare tanah di Desa Blang Panyang, Kecamatan Muara Satu dan Kecamatan Muara Dua untuk pembangunan kantor pemerintahan. Anggaran pembebasannya dipatok Rp30.000 per meter.

“Total anggaran pembebasan Rp15 miliar bersumber dari APBK. Di Desa Blang Panyang pembebasan tanah seluas 20 Ha mencapai Rp6 miliar, sisanya 30 Ha di Desa Kandang Kecamatan Muara Dua, namun belum dibebaskan,” ujar Alfian.

Berdasar hasil monitoring MaTA, kata Dia, tanah di Desa Blang Panyang hanya dihargai Rp10.000 per meter. Sedang pertanggungjawabannya ke kas negara Rp20.000 per meter. Jadi, totalnya hanya menghabiskan Rp2 miliar. Sementara, dipertanggungjawabkan Rp6 miliar.

Kepala Seksi Humas dan Penerangan Hukum Kejati NAD Ali Rasab Lubis enggan mengomentari banyak tentang pemeriksaan tersebut. Begitu juga ketika ditanyai soal penghentian dua kasus tersebut terindikasi suap, Ali langsung membantahnya.

“Dari mana kalian dapat informasi ada suap,” kata Ali sembari mengarahkan pertanyakan suap tersebut langsung ditanyai sumber informasinya.

Menyangkut pemeriksaan tersebut, Ali berdalih hal itu hanya rutinitas, guna memperbaiki kinerja Kejati dalam mengungkap kasus korupsi. Demikian pula dengan pemeriksaan kedua aktivis tersebut. “Mereka yang melaporkan kedua kasus tersebut,” ujar dia. [arman konadi]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar