28 Februari 2009

Kantor Uni Eropa di Aceh tidak Ditutup

* UE Diminta Pantau Pemilu

Serambi Indonesia (28/02/2009)

BANDA ACEH - Pascatsunami dan konflik, Provinsi Aceh makin menarik perhatian pejabat dari berbagai negara. Jumat (27/2) kemarin, giliran Menteri Kehakiman (Menkeh) Belanda, Dr EMH Hirsch Ballin mengunjungi provinsi yang baru pulih dari konflik ini.

Ia bertemu Gubernur Irwandi Yusuf untuk membicarakan berbagai perkembangan situasi terkini di Aceh menjelang Pemilu 2009. “Menteri Kehakiman Belanda hanya ingin tahu tentang situasi keamanan menjelang pemilu, juga tentang pelaksanaan hukum di Aceh,” kata Gubernur Irwandi Yusuf di Banda Aceh, Jumat.

Menurutnya, Menkeh Belanda itu juga sempat mempertanyakan rencana penutupan Kantor Perwakilan Uni Eropa (Europe Union/EU) di Aceh, menyusul berakhirnya mandat BRR pada April 2009.

Terkait hal itu, Irwandi menyatakan pemerintah tidak pernah mengeluarkan perintah mengenai hal itu. “Saya tanya apakah kantor itu dibuat ada hubungannya dengan BRR. Mereka bilang, tidak. Mereka bilang kantor itu hubungannya dengan pembangunan dan perdamaian di Aceh. Kalau begitu, tidak ada alasan untuk ditutup dan silakan dilanjutkan.

Pemerintah Aceh tidak pernah meminta untuk ditutup,” kata Irwandi didampingi Kepala Biro Hukum dan Humas Setda Aceh, A Hamid Zein MHum kepada wartawan usai menerima delegasi Menkeh Belanda di ruang kerjanya.

Gubernur menyebutkan, selain mempertanyakan rencana penutupan kantor perwakilan UE di Aceh, Menkeh Belanda yang didampingi delapan staf mempertanyakan banyak hal terkait perkembangan situasi terkini di Aceh.

Di antaranya, perkembangan keamanan dan hukum, persiapan menjelang pemilu, serta implementasi MoU Helsinki. Terhadap pelaksanaan hukum di Aceh, Irwandi menjelaskan sudah berjalan lebih baik pasca-MoU Helsinki.

Menyangkut suhu politik di Aceh mendekati pemilu, diakui Irwandi agak memanas. Namun, dia berharap setelah kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Aceh tanggal 23 dan 24 Februari lalu dapat meredam situasi, sehingga menjadi lebih normal.

“Terlebih setelah Presiden mengeluarkan pernyataan bahwa tidak ada lagi istilah DOM dan GAM di Aceh. Jadi, jangan ada lagi yang berpikir untuk referendum,” tegas mantan senior representative GAM di Aceh Monitoring Mission (AMM) itu.

Dalam pertemuan satu jam itu Menkeh Belanda juga mempertanyakan sejauh mana sudah implementasi MoU Helsinki yang telah ditandatangani antara Pemerintah RI dengan pimpinan GAM pada 15 Agustus 2005.

Irwandi menjelaskan bahwa hingga kini masih ada beberapa poin MoU yang belum dilaksanakan pemerintah. Seperti, pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) serta Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), maupun beberapa peraturan pemerintah (PP) sebagai bagian dari turunan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Pemantau dalam MoU

Di antara berbagai isu yang dibahas, keberadaan pemantau pemilu asing pada Pemilu 2009 di Aceh masih menjadi topik aktual yang menarik perhatian Irwandi maupun Menkeh Belanda.

Menurut Irwandi, Pemilu 2009 semestinya harus dimonitor oleh pemantau asing. Pada poin 1.2.7 MoU Helsinki, kata Irwandi, tercantum klausul bahwa pemantau asing diundang untuk memantau pelaksaaan pilkada di Aceh. Namun, menurut Irwandi, makna pemantau dalam MoU tersebut juga diasumsikan untuk sekaligus memantau Pemilu 2009.

“Pada poin 1.2.7 MoU disebutkan, `foreign monitor will be invited to monitor elections...‘. Jadi, pengertian elections di sini bukan hanya satu-satunya pilkada, tapi juga Pemilu 2009. Jadi, kalau ada yang beralasan bahwa pemantauan itu cuma untuk pilkada, itu keliru,” kata Gubernur Irwandi.

Pada klausul MoU berikutnya, yakni poin 1.2.4, kata Irwandi, juga disinggung tentang Pemilu 2009 yang menyertakan untuk pertama kalinya partai politik lokal (parlok) sebagai peserta pemilu.

“Partai lokal itu buah dari MoU Helsinki. Oleh karenanya, semua stakeholder MoU harus memonitor dan memelihara ’bayi‘ ini (partai lokal -red). Kalau Pemerintah Indonesia lupa mengundang, Uni Eropa bisa datang juga. Tidak hanya untuk memantau pemilu di Aceh, tapi juga di seluruh Indonesia. Mereka juga bisa mengirimkan tim, tidak ada larangan,” tegas Irwandi.

Menurut mantan ahli propaganda GAM ini, keberadaan pemantau asing dinilai penting, karena pemilu di Aceh berbeda dengan pemilu di daerah lain, karena mengikutkan parlok.

Begitupun, Irwandi menegaskan bahwa pemantau asing tidak berwenang mengintervensi atau mengawasi jalannya pemilu, melainkan hanya memantau. Tugas pengawasan, sebutnya, merupakan kewenangan panitia pengawas (panwas).

Hal ironis

Menurutnya, merupakan hal yang ironis apabila pemilu di Aceh tidak melibatkan pemantau asing. Sebab, banyak pihak selama ini mendengungkan adanya intimidasi terhadap partai politik.

Semestinya, kata Irwandi, kasus intimidasi ini bisa diminimalisasi dengan adanya pemantau asing di Aceh. Kehadiran pemantau asing, kata Irwandi melanjutkan, sangat diperlukan untuk menjaga agar pemilu berjalan jujur dan aman serta memastikan proses perdamaian tetap pada jalur yang sudah ditentukan.

“Salah satu hal mengapa keberadaan pemantau asing dirasa penting, karena mereka bisa memantau agar pemilu berlangsung jujur, adil, aman, dan bermartabat,” katanya.

Dalam kunjungan kerjanya ke Aceh selama dua hari (26-27 Februari), Menkeh Belanda bersama rombongan juga melakukan pertemuan dengan sejumlah kalangan dan mengunjungi sejumlah tempat.

Di antaranya bertemu dengan Asia Foundation, Majelis Adat Aceh (MAA), mengunjungi kuburan massal Ulee Lheue, kapal PLTD Apung, Masjid Raya Baiturrahman, minum kopi di Warung Kopi Cek Yuke, dan kembali bertolak menuju Kuala Lumpur kemarin sore.

Tertarik Adat Aceh

Saat berkunjung ke MAA, Hirsch Ballin mengaku ingin mengetahui kiprah lembaga yang dipimpin Badruzzaman Ismail MHum itu dalam hal penanganan hukum adat di Aceh selama ini. Meski tidak berjanji memberikan bantuan dalam bentuk konkret, pihaknya juga menyatakan berkomitmen membantu pembangunan Indonesia secara umum dan Aceh khususnya dalam bidang hukum.

Dalam presentasi yang dilakukan MAA kemarin, Ballin menyambut baik program yang dilakukan MAA. Ia menyatakan sangat menghargai peranan hukum adat. Terutama karena itu dilakukan dalam kerangka MoU Helsinki.

Dalam pertemuan itu, beberapa pertanyaan ia lontarkan kepada Badaruzzaman. Di antaranya persoalan perbedaan syariat dan adat yang ada di Aceh dan apa solusinya apabila kedua pihak yang bertikai menolak berdamai.

Badaruzzaman dalam presentasinya di hadapan Ballin menyatakan saat ini program lembaganya adalah memberikan pelatihan kepada 46.648 fungsionaris adat di seluruh Aceh untuk meningkatkan kapasitas mereka serta melatih pendokumentasian kasus-kasus yang terjadi. Tujuannya agar menjadi rekomendasi (semacam yurisprudensi) bagi kasus sejenis ke depannya.

Ia juga menerangkan keuntungan hukum adat bagi masyarakat adalah mendapat keadilan dengan cepat dan murah, karena tanpa proses pengadilan yang lama. Selain itu, antara yang bermusuhan bisa didamaikan, sehingga harmoni kembali terjaga. Hanya saja, pemahaman masyarakat masih lemah serta koordinasi aparat hukum yang masih kurang.

Kepada wartawan, Badaruzzaman menyatakan gembira bahwa dunia internasional menghargai adat Aceh. Karenanya, ia berharap adat Aceh benar-benar serius dipelihara oleh orang Aceh sendiri. “Kalau orang lain saja sudah menghargai, jangan kita biarkan. Ingat, pembangunan itu bukan cuma fisik, tapi juga adat dan sopan santun,” katanya seusai acara pertemuan dengan Ballin.

Pihaknya juga berharap Pemerintah Belanda sudi membantu MAA untuk peningkatan keahlian dan pendokumentasian di bidang adat Aceh. (sar/dwi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar